Selasa, 27 November 2012 0 komentar

Applikasi Tekhnologi Pendidikan Dalam PAUD


BAB I
PENDAHULUAN

I.             LATAR BELAKANG

Intervensi perlakuan terhadap anak usia dini menjadi kajian utama dalam bidang pendidikan pada masa warsa terakhir ini. Hal ini sangat berkaitan dengan hasil konferensi UNESCO di Dakkar yang bertemakan “Pendidikan Untuk Semua, Semua Untuk Pendidikan” yang telah mencanangkan pentingnya memberikan layanan pada anak usia dini.
Pendidikan pada anak usia dini ini menjadi strategis manakala ia menjadi tolak ukur keberhasilan  pada tahap selanjutnya. Betapa tidak, pada usia dini yaitu usia nol sampai delapan tahun merupakan rentang usia kritis dan sekaligus strategis dalam proses pendidikan yang akan mewarnai proses serta hasil pendidikan pada tahap selanjutnya.
Pada rentang usia ini anak mengalami masa keemasan (the golden years), yang merupakan masa dimana anak mulai peka atau sensitif untuk menerima berbagai rangsangan. Masa peka adalah masa terjadinya kematangan fungsi fisik dan psikis yang siap merespons stimulus yang diberikan oleh lingkungan. Masa peka masing-masing anak berbeda.
Anak adalah buah hati orangtua”, kalimat kiasan ini memang bukan hanya sekedar hiasan belaka, tetapi pada kenyataannya setiap orangtua akan berbuat apa saja demi kebahagiaan anak-anaknya. Bahkan, terkadang mereka rela untuk melupakan kebutuhannya sendiri.
Untuk itu sangatlah bijak apabila kita sebagai orang dewasa (orangtua, guru, atau orang dewasa lain) dapat berbuat dan memperlakukan anak bukan sebagai “miniatur orang dewasa” melainkan “makhluk kecil yang diyakini memiliki potensi untuk berkembang”. Mengutip pendapat dari J. A. Comenius seorang ahli ilmu jiwa yang menekuni masalah pendidikan, mengatakan bahwa anak harus dipelajari bukan sebagai embrio orang dewasa melainkan dalam sosok alami anak agar kita kita dapat memahami kemampuan mereka dan mengetahui bagaimana cara berhubungan dengannya.
Masa kanak-kanak yang bahagia memang tidak 100% menjamin keberhasilan di masa dewasa, tapi dapat menjadi peletak dasar bagi keberhasilannya. Sedangkan ketidakbahagiaan pada masa kanak-kanak kemungkinan dapat menjadi peletak dasar bagi ketidakberhasilannya di masa mendatang.
Mengingat bahwa anak usia dini merupakan makhluk unik yang memiliki karakteristik dan kebutuhan yang berbeda, maka intervensi yang diberikan oleh orang dewasapun harus berbeda pula sesuai dengan laju dan kecepatan belajar anak seiring dengan masa pertumbuhan dan perkembangannya. Untuk itu diperlukan suatu model pembelajaran yang mampu menumbuhkembangkan seluruh potensi yang dimiliki oleh anak.
Berdasarkan hasil penelitian Howard Gardner, kecerdasan manusia tidaklah tunggal seperti selama ini yang dipahami oleh banyak orang yang begitu membanggakan kecerdasan intelektual (IQ). Gardner mengemukakan tentang multi kecerdasan (multiple intelligence) yang terkait dengan fungsi otak dan akan menentukan kualtias kecerdasan seseorang. Optimalisasi kecerdasan dimungkinkan apabila sejak usia dini anak telah mendapatkan stimulasi yang tepat untuk perkembangan otaknya. Hal tersebut diatas semakin merebak dengan digelarnya hasil penelitian tentang kecerdasan emosional (Emosional Intelligence) yang diungkap oleh Daniel Golesman. Hasil penelitian Golesman telah mengubah pandangan tentang konsep kecerdasan, dimana selain IQ juga ada kecerdasan lain yang turut menentukan kesuksesan seseorang dimasa mendatang, diantaranya yaitu EQ (Emosional Quotient), CQ (Creative Quotient), AQ (Adversity Quotient), dan belakangan muncul pula yang disebut SQ (Spiritual Quotient).
Berdasarkan hasil penelitian tentang multikecerdasan tersebut, Thomas Amstrong telah mencoba menerapkan multikecerdasan tersebut dalam setting kelas. Anggapan bahwa setiap anak memliki sejumlah kecerdasan yang berbeda, maka Amstrong menggunakan berbagai aspek kecerdasan. Hal ini didasarkan pada paradigma baru yang menganggap bahwa tidak ada anak yang bodoh, setiap guru harus berpandangan bahwa setiap anak sebagai manusia yang memiliki potensi untuk berprestasi asalkan ia mendapat stimulasi sesuai dengan kecenderungan potensi kecerdasan yang dimilikinya.
Untuk mewujudkan model pembelajaran yang sesuai, maka dibutuhkan sejumlah pengetahuan yang berhubungan dengan teknologi pendidikan. Diharapkan dengan melakukan kajian berdasarkan epistemologi keilmuan teknologi pendidikan, maka akan didapat nilai tambah yang akan sangat bermanfaat bagi pelayanan pendidikan anak usia dini.


II.          PERMASALAHAN
Berdasarkan latar belakang tersebut, maka permasalahan yang diangkat dalam tulisan ini adalah: Bagaimanakah aplikasi teknologi pendidikan dalam mengembangkan KBK melalui penerapan model pembelajaran sentra untuk mengembangkan multikecerdasan?






BAB II
ISI

I.              HAKIKAT PENDIDIKAN ANAK USIA DINI

A.     Definisi Pendidikan Anak Usia Dini
Pendidikan adalah usaha yang dijalankan dengan sengaja, teratur, dan terencana dengan maksud mengubah tingkah manusia kearah yang diinginkan.
National Association in Education for Young Children (NAEYC) (1999), memberi batasan anak usia dini adalah mereka yang berada rentang usia lahir sampai delapan tahun. Hal tersebut sejalan dengan hasil konferensi UNESCO di Dakkar. Berdasarkan hasil Rancangan Undang-Undang Sisdiknas tahun 2003 pasal 29 dituliskan bahwa Pendidikan Anak Usia Dini dapat diselenggarakan melalui jalur pendidikan formal, nonformal, dan atau informal. Pendidikan formal berbentuk taman kanak-kanak (TK), raudhatul athfal (RA). Dalam pendidikan nonformal berbentuk kelompok bermain (KB), taman penitipan anak (TPA). Sedangkan dalam pendidikan informal berbentuk pendidikan keluarga atau pendidikan yang diselenggarakan oleh lingkungan.
Sementara Sujiono menjelaskan lebih lanjut bahwa anak usia dini adalah sekelompok anak yang berusia antara 0-8 tahun yang memiliki berbagai potensi genetik dan siap untuk ditumbuhkembangkan melalui pemberian berbagai rangsangan.
Sebagai kesimpulan dapat dijelaskan bahwa Pendidikan Anak Usia Dini adalah suatu kegiatan yang dilakukan secara sadar dan bertanggungjawab untuk menciptakan suatu interaksi edukatif pada anak usia dini yang berusia 0-8 tahun serta memberikan  kemungkinan berkembangnya berbagai potensi kearah yang lebih optimal. Interaksi edukatif yang diciptakan dan dirancang dengan menggunakan program yang terencana, sistematis, dan berkelanjutan untuk membantu tumbuh kembang potensi anak secara optimal. Melalui berbagai interaksi edukatif tersebut diharapkan segala potensi tersembunyi yang dimiliki anak akan teraktualisasi dan menunjukkan perkembangan atau perubahan ke arah yang lebih maju.

B.      Pentingnya Pendidikan Anak Usia Dini
Hurlock mengatakan bahwa semua anak yang baru lahir adalah tidak berdaya sehingga membutuhkan bantuan orang dewasa untuk tumbuh dan berkembangan, termasuk belajar. Ketidakberdayaan ini dicirikan dengan belum berkembangnya kedaan tubuh dan sistem saraf, ketidakmampuan mengendalikan keadaan motorik, ketidakmampuan untuk berkomunikasi dan ketidakmampuan untuk belajar. Selanjutnya ia mengatakan bahwa pentingnya pendidikan bagi anak usia dini adalah menciptakan interaksi edukatif yang diarahkan bagi perkembangan optimal seluruh potensi yang dimiliki anak.
Janet Doman dalam Dryden dan Vos mengatakan: “A baby is born into world in which, essentially he is blind, can’t hear very well and his sensation is far form perfect. And that’s very uncomfortable place for a baby to be. He is trying to figure out: where I am?, what’s going on?, what’s gonna happen next?......... because he can’t see, he can’t hear and he can’t feel very well. So I think the job of parent is clear: to give enough visual, auditory and tactile stimulation so that the baby get out of this dilemma of not being able to see, hear, and feel”.
Langeveld dalam Napitupulu mengatakan bahwa manusia adalah “animal educandum” atau hewan yang dapat dididik, jadi jika manusia (anak) itu tidak dididik, maka ia akan tetap sama dengan monyet atau hewan lainnya. Artinya, tiada perubahan tingkah laku dan ia akan mendasarkan segala tindak-tanduknya melulu atas dasar naluri (instinct).
Berdasarkan ketiga pendapat tersebut, jelaslah bahwa pentingnya pendidikan bagi anak usia dini adalah agar anak dapat mengembangkan seluruh potensi yang dimilikinya melalui berbagai rangsangan dari orang dewasa dan atau lingkungan sekitar. Hal itu berarti pendidikan bagi anak usia dini mutlak diberikan agar mereka dapat mencapai taraf kemanusiaannya.
Selain itu, pentingnya pemberian layanan pendidikan bagi anak usia dini memiliki beberapa fungsi sebagai berikut:
ª      Fungsi adaptasi dan sosialisasi, yakni berperan dalam membantu anak melakukan penyesuaian diri dengan lingkungan dan dengan keadaan dalam dirinya sendiri. Serta membantu anak agar memiliki keterampilan-keterampilan sosial yang berguna dalam pergaulannya di masyarakat.
ª      Fungsi pengembangan, yakni berkaitan dengan peranan pendidikan anak usia dini dalam mengembangkan berbagai potensi yang dimiliki oleh anak.
ª      Fungsi bermain, yakni peranan pendidikan anak usia dini dalam memberikan kesempatan pada anak untuk bermain. Karena, dengan bermain anak akan senang mengembangkan berbagai potensi yang dimiliki.
ª      Fungsi eknonomik, yakni bahwa pendidikan yang terencana pada anak usia dini merupakan investasi jangka panjang yang dapat menguntungkan pada setiap rentang perkembangan selanjutnya.
Berdasarkan data BPS tahun 1999, diperkirakan jumlah anak balita yang berusia 0-5 tahun di Indonesia adalah berkisar 24.000.000 jiwa yang tersebar di seluruh Indonesia. Bila konsisten dengan konsep anak usia dini adalah anak yang berusia antara 0-8 tahun jumlahnya meningkat menjadi lebih kurang 42.500.000 jiwa (21% dari jumlah populasi Indonesia).
Program PAUD di Indonesia hanya akan berhasil bila intervensi kesehatan, perbaikan gizi, dan pendidikan diberikan secara sinergis. Kesemuanya akan memberi dampak positif bagi perkembangan fisik, kognitif, bahasa, sosio-emosional, dan mental spiritual yang dengan secara bersama-sama akan menghasilkan pertumbuhan dan perkembangan yang utuh, menyeluruh, dan berkelanjutan. Untuk itu, penyelenggaraan program PAUD di Indonesia harus menganut pendekatan menyeluruh, integratif, dan sistematik.

II.            KURIKULUM BERBASIS KOMPETENSI ANAK USIA DINI

A.            Pengertian
Kompetensi merupakan pengetahuan, keterampilan, dan nilai-nilai dasar yang direfleksikan dalam kebiasaan berpikir dan bertindak.
Kebiasaan berpikir dan bertindak secara konsisten dan terus-menerus memungkinkan seseorang menjadi kompeten, dalam arti memiliki pengetahuan keterampilan dan nilai-nilai dasar untuk melakukan sesuatu.
Dasar pemikiran untuk menggunakan konsep kompetensi dalam kurikulum adalah sebagai berikut:
1.      Kompetensi berkenaan dengan kemampuan anak melakukan sesuatu dalam berbagai konteks.
2.      Kompetensi menjelaskan pengalaman belajar yang dilalui anak untuk menjadi kompeten.
3.      Kompeten merupakan hasil belajar yang menjelaskan hal-hal yang dilakukan anak setelah melalui proses pembelajaran.
4.      Keandalan kemampuan anak melakukan sesuatu harus didefinisikan secara jelas dan luas dalam suatu standar yang dapat dicapai melalui kinerja yang dapat diukur.
Kurikulum Berbasis Kompetensi merupakan seperangkat rencana dan pengaturan tentang kompetensi dan hasil belajar yang harus dicapai anak, penilaian, kegiatan pembelajaran, dan pemberdayaan sumber daya pendidikan dalam pengembangan kurikulum lembaga pendidikan.
Kurikulum Berbasis Kompetensi berorientasi pada:
1.      Hasil dan dampak yang diharapkan muncul pada diri anak melalui serangkaian pengalaman belajar yang bermakna, dan
2.      Keberagaman yang dapat dimanifestasikan sesuai dengan kebutuhannya.
Kurikulum Berbasis Kompetensi memiliki ciri-ciri sebagai berikut:
§      Menekankan pada ketercapaian kompetensi anak, baik secara individual maupun klasikal.
§      Berorientasi pada hasil belajar dan keberagaman.
§      Penyampaian dalam pembelajaran menggunakan pendekatan dan metode yang bervariasi.
§      Sumber belajar bukan hanya guru.
§      Penilaian menekankan pada proses dan hasil belajar dalam upaya penguasaan atau pencapaian suatu kompetensi.

B.             Prinsip Dalam Pengembangan Kurikulum
Adapun prinsip-prinsip dalam pengembangan kurikulum berikut ini:
1.    Keimanan, nilai, dan budi pekerti luhur
Keyakinan dan nilai-nilai yang dianut masyarakat berpengaruh pada sikap dan arti kehidupannya. Keimanan, nilai-nilai, dan budi pekerti luhur perlu digali, dipahami, dan diamalkan oleh anak-anak.
2.    Penguatan integritas nasional
Penguatan integritas nasional dicapai melalui pendidikan yang memberikan pemahaman tentang masyarakat Indonesia yang majemuk dan kemajuan peradaban bangsa Indonesia dalam tatanan peradaban dunia yang multikultur dan multibahasa.
3.    Keseimbangan etika, logika, estetika, dan kinestetika
Keseimbangan pengalaman belajar anak yang meliputi etika, logika, estetika, dan kinestetika sangat dipertimbangkan dalam penyusunan kurikulum dan hasil belajar.

C.             Komponen Kurikulum Berbasis Kompetensi
Kurikulum Berbasis Kompetensi merupakan kerangka inti yang memiliki empat komponen, yaitu Kurikulum dan Hasil Belajar, Penilaian Berbasis Kelas, Kegiatan Belajar Mengajar, dan Pengelolaan Kurikulum Berbasis Sekolah.
1.      Kurikulum dan Hasil Belajar, yakni memuat perencanaan pengembangan kompetensi anak yang perlu dicapai secara keseluruhan sejak lahir sampai usia 18 tahun. Kurikulum dan hasil belajar ini memuat kompetensi, hasil belajar, dan indikator dari TK dan RA sampai dengan kelas XII.
2.      Penilaian Berbasis Kelas, yakni memuat prinsip, sasaran, dan pelaksanaan penilaian berkelanjutan yang lebih akurat sebagai akuntabilitas publik melalui identifikasi kompetensi atau hasil belajar yang telah dicapai, pernyataan yang jelas tentang standar yang harus dan telah dicapai serta peta kemajuan belajar anak dan pelaporan.
3.      Kegiatan Belajar Mengajar, yakni memuat gagasan-gagasan pokok tentang pembelajaran untuk mencapai kompetensi yang ditetapkan serta gagasan-gagasan paedagogis dan androgogis untuk mengelola proses pembelajaran agar tidak mekanistik.
4.      Pengelolaan Kurikulum Berbasis Sekolah, yakni memuat berbagai pola pemberdayaan tenaga kependidikan dan sumber daya lain untuk meningkatkan mutu hasil belajar. Pola ini dilengkapi pula dengan gagasan pembentukan jaringan kurikulum, silabus, pembinaan profesional tenaga kependidikan, dan pengembangan sistem informasi kurikulum.

D.            Struktur Kurikulum
Adapun struktur Kurikulum Berbasis Kompetensi untuk anak usia dini termasuk di dalamnya Taman Kanak-Kanak dapat dideskripsikan sebagai berikut (Depdiknas, 2002):

NO

PROGRAM KEGIATAN BELAJAR

ALOKASI WAKTU
1.
Pengembangan Moral dan Agama

2.
Pengembangan Sosial dan Emosional

3.
Pengembangan Kemampuan Dasar


Alokasi Waktu per Minggu
15 jam (900 menit)

Ketentuan untuk TK dan RA:
1.      Minggu efektif dalam satu tahun pelajaran (2 semester) adalah 34 minggu dan jam belajar efektif per hari adalah 2,5 jam (150 menit).
2.      Pengelolaan kegiatan belajar ketiga jenis bidang pengembangan diserahkan sepenuhnya kepada penyelenggara TK dan RA.
3.      Program kegiatan belajar dalam rangka pengembangan kemampuan dasar meliputi antara lain pengembangan kognitif, bahasa, fisik, dan pra-akademik.

III.          TEORI MULTIKECERDASAN
Pada tahun 1983, Howard Gardner mengemukakan teori yang disebut sebagai multiple intelligences dalam bukunya Frames of Mind. Teori ini mengatakan, ada banyak cara belajar. Umumnya anak-anak dapat menggunakan intelegensinya yang berbeda untuk mempelajari sebuah konsep atau keterampilan. Sebagai contoh, dalam belajar tentang tumbuhan, seorang anak akan menempelkan daun-daunan ke tangannya, menempelkan kertas cokelat ke kakinya sebagai batang pohon, lalu bergerak layaknya pohon. Di sudut lain, seorang anak lain belajar dengan mengamati buku yang gambarnya dapat dimainkan. Anak tersebut melihat dan meraba setiap tumbuhan yang ada dalam buku. Kedua anak tersebut dapat menyerap informasi tentang tumbuhan, tapi dengan cara yang berbeda. Anak pertama lebih mudah mendapat informasi dengan terlibat secara fisik dalam proses pembelajarannya. Sedangkan anak kedua untuk memahaminya perlu meraba dan merasakannya.
Selanjutnya, Gardner menyatakan bahwa kecerdasan merupakan kemampuan untuk menyelesaikan masalah, menciptakan produk yang berharga dalam satu atau beberapa lingkungan budaya masyarakat. Secara lebih terperinci Gardner menyatakan bahwa kecerdasan merupakan:
6  Kemampuan untuk menciptakan suatu produk yang efektif atau menyumbangkan pelayanan yang bernilai dalam suatu budaya.
6  Sebuah perangkat keterampilan menemukan atau menciptakan bagi seseorang dalam memecahkan permasalahan dalam hidupnya.
6  Potensi untuk menemukan jalan keluar dari masalah-masalah yang melibatkan penggunaan pemahaman baru.
Saat ini teori multikecerdasan sering digunakan oleh para pendidik, orangtua maupun guru. Sebenarnya dalam beberapa hal orangtua dan guru mengetahui secara naluriah bahwa anak-anak belajar dengan cara dan gaya yang berbeda. Hal ini dapat diketahui dari ketertarikan satu anak dengan lainnya terhadap suatu aktivitas. Ada anak yang menunjukkan keantusiasaan yang tinggi, tetapi ada pula yang terlihat seperti tidak memiliki gairah untuk melakukannya.
Tujuan penting dalam mengetahui berbagai aspek yang terdapat dalam multikecerdasan adalah diharapkan para pendidik dapat memperlakukan anak sesuai cara dan gaya belajarnya masing-masing. Sebagai pendidik yang berpengalaman sering kali ditemui berbagai kekecewaan dalam menghadapi berbagai macam anak, sehingga muncul rasa frustasi dalam menghadapi mereka. Dengan lebih memahami kecerdasan individual masing-masing anak dan gaya belajar mereka akan membantu para pendidik dalam menghadapi anak terutama dalam mengajari anak-anak dengan cara yang paling sesuai dengannya.
Sesuai dengan teori multikecerdasan, diyakini bahwa setiap anak memiliki berbagai aspek kecerdasan yang akan dapat saling berinteraksi satu dengan lainnya dalam diri seseorang tapi memiliki kadar atau tingkat yang berbeda antara satu anak dengan anak lainnya. Menurut teori ini, setidaknya anak memiliki delapan kecerdasan, yaitu kecerdasan linguistik, kecerdasan spasial, kecerdasan musikal, kecerdasan logis-matematis, kecerdasan kintestetik, kecerdasan naturalis, kecerdasan antarpribadi, kecerdasan intra pribadi. Belakangan bahkan ditambahkan kecerdasan spiritual. Seluruh aspek ini sebenarnya dapat dikembangkan secara bersama-sama, tetapi hasil belajar yang didapat tentunya akan berbeda pada setiap anak sesuai dengan potensi yang dominan pada diri mereka. Tugas guru dan orangtua inilah yang harus dapat mendeteksi aspek-aspek mana saja yang dominan pada diri anak.

IV.         MODEL PEMBELAJARAN SENTRA
Filosofi dari program pembelajaran sentra berasal dari berbagai ahli psikologi perkembangan yang telah mengamati pertumbuhan dan perkembangan anak selama bertahun-tahun. Diantaranya adalah teori dan model pembelajaran dari Helen Parkhust dengan sekolah Dalton, dimana tidak digunakannya program klasikal, tetapi menggunakan sentra-sentra sebagai tempat untuk belajar. Sedangkan program pembelajaran yang digunakan dalam model sentra ini mengadposi dan mengembangkan teori yang dikemukakan oleh Jean Piaget, Lev Vygotsky, Anna Freud, dan Sarah Smilansky. Para ahli psikologi tersebut percaya bahwa ada empat unsur atau konsep dasar yang harus diperhatikan dalam menyelenggarakan pembelajaran untuk anak usia dini, yaitu: teori pengetahuan (theory of knowledge), teori perkembangan (theory of development), teori belajar (theory of learning), dan teori mengajar (theory of teaching). Masing-masing akan dijelaskan sebagai berikut:
1.    Teori Pengetahuan (Theory of Knowledge)
Piaget mengatakan bahwa manusia dalam hidupnya memiliki tiga jenis pengetahuan. Ketiga jenis pengetahuan ini disebut teori pengetahuan (theory of knowledge) yang lebih dikenal dalam pengaplikasiannya dengan pengetahuan diri (self knowledge), yaitu pengetahuan yang harus dimiliki oleh setiap individu dalam menjalani hidupnya. Tiga pengetahuan tersebut adalah:
a. Pengetahuan Fisik (Physical Knowledge)
Pengetahuan fisik, yaitu pengetahuan yang berhubungan dengan bentuk-bentuk fisik, seperti: warna, bentuk, ukuran, berbagai objek fisik dari lingkungan, dan berbagai perlakuan terhadap objek fisik yang ada di lingkungannya.
b. Pengetahuan Logika Matematika (Logica Mathematical Knowledge)
Pengetahuan logika dan matematika, yaitu pengetahuan yang berhubungan dengan angka, berhitung, perbandingan, mengurutkan, pengelompokkan, dan berbagai kegiatan yang berhubungan dengan logika matematika.
c.  Pengetahuan Sosial (Social Knowledge)
Manusia adalah makhluk sosial sehingga manusia memerlukan pengetahuan untuk berinteraksi dengan manusia lain, dan erat kaitannya dengan kultur manusia itu sendiri.

2.    Teori Perkembangan (Theory of Development)
Manusia memiliki pola perkembangan dan karakteristik dari bayi hingga dewasa. Para ahli psikologi berpendapat bahwa manusia dalam perkembangannya memiliki karakteristik tertentu. Perkembangan manusia dalam hidupnya meliputi: perkembangan kognitif, sosial, bahasa, psikomotrik, dan afektif. Anak usia 3-4 tahun perlu untuk membangun keterampilan sosialnya agar dapat bermain dengan anak lainnya, memecahkan bahasa untuk memecahkan masalah. Anak juga membutuhkan banyak kesempatan untuk mencoba berbagai hal baru untuk dieksplorasi. Anak usia ini juga senang berkata “Aku bisa”, ketika mereka diizinkan untuk mengembangkan kemampuannya sesuai tahapan perkembangannya.
3. Teori Belajar (Theory of Learning)
Sesuai dengan program pendidikan bagi anak usia dini, yaitu penerapan perkembangan yang tepat dengan pendekatan bermain bahwa dari teori perkembangan diatas dapat dilihat bahwa anak memperoleh pengetahuan yang dapat mengembangkan kemampuan dirinya melalui kegiatan bermain sambil belajar (learning by playing). Pada hakikatnya anak senang bermain. Melalui bermain anak dapat menyesuaikan diri dengan lingkungannya dan dapat menjadi lebih dewasa.
Hal terpenting yang harus diperhatikan dalam bermain adalah:
J Bermain harus muncul dari dalam diri anak.
J Bermain harus bebas dari aturan yang mengikat.
J Bermain adalah aktifitas nyata atau sesungguhnya.
J Bermain harus difokuskan pada proses daripada hasil.
J Bermain harus didominasi oleh pemain.
J Bermain harus melibatkan peran aktif dari pemain.
Peran orang dewasa dalam bermain sangat penting, dimana orang dewasa memberikan makna pada permainan si anak, agar dalam bermain anak dapat memperoleh pengetahuan. Bila anak dibiarkan main sendiri, maka anak tidak akan mendapatkan makna apapun dari bermainnya melainkan keputusasaan.
4. Teori Pembelajaran (Theory of Instruction)
Pembelajaran pada anak usia dini selalu menggunakan pendekatan bermain anak. Program ini memberikan kesempatan pada anak untuk bermain dan mengeksplorasi permainnya seluas-luasnya sesuai dengan tahapan perkembangan yang dimiliki oleh individu masing-masing anak. Pada model pembelajaran sentra seorang guru lebih sebagai pengkontruksi pemikiran anak dan pengobserver pengembangan anak serta sebagai model bagi anak.
Program pendidikan dengan pendekatan bermain ini diambil dari cara anak bermain. Ada tiga cara anak bermain yang telah diamati oleh para psikolog antara lain Piaget, Vygotsky, Erikson, Ann Freud dan Smilansky, sesuai dengan teori pengetahuan (theory of knowledge) yang nantinya menjadi pengetahuan seseorang (self knowledge). Tiga unsur bermain yang muncul pada diri anak, yaitu:
1. Permainan sensorimotor dan fungsi
Contoh permainan: bermain sepeda, merobek, melukis, bermain pasir, dan permainan yang menstimulasi perkembangan sensorik dan motoriknya.
2. Bermain peran atau simbolis (maksro dan mikro)
Contoh permainan simbolis  makro antara lain bermain dokter-dokteran dengan menggunakan alat-alat dokter yang seperti alat dokter sungguhan. Sedangkan permainan simblolis mikro antara lain bermain boneka barbie.
3. Pembangunan (zat cair sampai kerangka)
Jenis bermain yang ketiga adalah bermain pembangunan dari zat cair hingga kerangka. Permainan zat cair antara lain bermain takar air, kocok sabun, finger painting, play dough, pasir, hingga bermain dengan balok (block building).
Agar anak dapat berkembang sesuai dengan perkembangannya, di bawah ini bagan jenis permainan yang dapat diberikan pada anak sesuai dengan tahapan perkembangannya:
Usia
Persentase Bentuk Permainan dalam Waktu
10%
20%
30%
40%
50%
60%
70%
80%
90%
100%
0-2 tahun
Sensorimotor
1-2 tahun
Sensorimotor
Simbolik
2-3 tahun
Sensorimotor
Simbolik
Kontruksi
3-4 tahun
Sensorimotor
Simbolik
Kontruksi

Menurut bagan di atas, anak pada usia tiga hingga empat tahun dapat diberikan permainan sensorimotor 40 persen, permainan simbolik 30 persen, dan permainan konstruksi sebanyak 30 persen. Oleh karena itu, anak usia tiga sampe empat tahun sesuai dengan perkembangan kognitifnya yakni berada pada tahap pra-operasional anak, dimana harus mulai menggunakan simbol-simbol, maka diberikan permainan yang sifatnya simbolik dan kostruksi. Tetapi pada usia ini juga masih mengembangkan sensorimotornya sehingga masih perlu diberikan permainan sensorimotor yang menunjang perkembangan simboliknya.
   Bagan ini juga berpengaruh pada sentra apa saja yang dapat diberikan pada anak sesuai dengan tahapan usia dan perkembangannya. Pemilihan sentra yang akan dikembangkan sangat disesuaikan berbagai multikecerdasan yang akan dikembangkan, antara lain:

a. Sentra bahan alam
Memiliki tujuan untuk memberikan pengalaman pada anak untuk bereksplorasi dengan berbagai materi dan mengenalkan konsep kering hingga basah. Materi yang digunakan antara lain seperti air, play dough, pasir, biji-bijian, dan berbagai bahan alam lainnya yang terdapat di sekitar anak dan ditemui oleh anak sehari-hari. Pada sentra bahan alam evaluasi perkembangan anak difokuskan pada proses.
b. Sentra seni
Memiliki fokus untuk memberikan kesempatan pada anak untuk mengembangkan berbagai keterampilannya, terutama keterampilan tangan dengan menggunakan berbagai bahan dan alat, seperti: melipat, menggunting, mewarnai, membuat prakarya, dan melukis. Tujuan sentra seni lebih ditekankan dalam memberikan pengalaman untuk memproses, daripada membuat hasil. Artinya, bagaimana anak mampu memanfaatkan bahan daripada hasil akhir yang diproduksi anak.
c.  Sentra bermain peran sesungguhnya (macro play)
Sentra ini mendukung sepenuhnya pada perkembangan bahasa dan interaksi sosial Bermain peran makro adalah bermain peran yang seakan-akan anak bermain sesuai dengan yang sesungguhnya, misalnya menggunakan pakaian dokter dan menggunakan perlengkapannya seperti dokter yang sebenarnya.
d.  Sentra bermain peran (micro play)
Sentra bermain mikro sama dengan bermain peran makro, tetapi pada mikro anak menggunakan miniatur dari kehidupan sosial manusia, misalnya menggunakan rumah barbie untuk bermain.
e. Sentra balok
Sentra balok membantu perkembangan anak dalam keterampilan berkontruksi. Sentra mengasah keterampilan anak mulai dari menumpuk balok hingga mempresentasikan kehidupan nyata, yaitu dengan membuat jalan, rumah. Sentra ini juga mengembangkan kemampuan anak untuk bekerja sendiri hingga kelompok dalam membuat perencanaan pembangunan.
f.   Sentra persiapan
Sentra ini memberikan kesempatan pada anak untuk mengembangkan kemampuan matematika, pra-menulis, dan pra-membaca, dengan kegiatan antara lain: mengurutkan, mengklasifikasikan, dan mengelompokkan berbagai aktivitas lainnya yang mendukung perkembangan kognitif anak.
g. Sentra agama
Sentra agama dimana kegiatannya adalah mengembangkan kemampuan beragama pada anak sejak dini dan membentuk pribadi yang cerdas berperilaku sesuai dengan agama yang dianutnya.


V.           APLIKASI TEKNOLOGI PENDIDIKAN DALAM PEMBELAJARAN SENTRA
Teknologi Pendidikan merupakan disiplin ilmu terapan, artinya ia berkembang karena adanya kebutuhan di lapangan, yaitu kebutuhan belajar. Penerapan TP dalam proses pembelajaran dimaksudkan agar belajar menjadi lebih efektif, lebih efisien, lebih banyak, lebih luas, lebih cepat, dan lebih bermakna bagi kehidupan orang yang belajar. Untuk itu ada produk yang sengaja dibuat dan ada yang ditemukan dan dimanfaatkan. Namun, perkembangan teknologi komunikasi dan informasi yang sangat pesat akhir-akhir ini telah menawarkan sejumlah kemungkinan yang semula tidak terbayangkan, telah membaik cara berpikir banyak orang dengan “bagaimana mengambil manfaat teknologi tersebut untuk mengatasi masalah belajar?”
Pada pembahasan tersebut, aplikasi teknologi pendidikan akan ditinjau dari pengertian teknologi pendidikan (berlaku untuk semua teknologi) secara umum adalah proses yang dapat meningkatkan nilai tambah, produk yang digunakan dan dihasilkan untuk memudahkan dan meningkatkan kinerja, struktur atau sistem dimana proses dan produk itu dikembangkan dan digunakan. Dengan perkataan lain, semua bentuk teknologi adalah sistem yang diciptakan oleh manusia untuk suatu tujuan tertentu, yang pada intinya adalah mempermudah manusia dalam memperingan usahanya, meningkatkan hasilnya, dan menghemat tenaga serta sumber daya yang ada.
Berhubungan dengan hal tersebut diatas, jelas bahwa aplikasi teknologi pendidikan pada pendidikan anak usia dini menggunakan pendekatan yang merupakan asas epistemologi TP sehingga harus memenuhi persyaratan sebagai berikut:
QPendekatan isomorfi, PAUD terdiri dari multidisiplin ilmu diantaranya: Psikologi, Komunikasi, Pendidikan, Sosiologi, Antropologi, Kesehatan dan Keperawatan, Gizi, dan Fisiologi.
QPendekatan sistematik, PAUD memiliki urutan kerja yang teratur dan terarah dalam rangka mengatasi permasalahan belajar dalam tumbuh kembang pada anak usia dini, yaitu berdasarkan tahapan usia kronologis dan kematangan perkembangan (usia bayi, anak balita, anak pra-sekolah, dan anak sekolah dasar).
QPendekatan sinergistik, PAUD menggabungkan berbagai cara dalam menstimulasi tumbuh kembang anak usia dini yang disesuaikan dengan karakteristik dan kebutuhan masing-masing anak, karena pada dasarnya setiap anak berbeda sehingga dengan laju dan kecepatan yang belajar yang berbeda seharusnya anak mendapat layanan pendidikan yang berbeda pula.
QPendekatan sistemik, berupa pengkajian secara menyeluruh karena dalam mengkaji layanan pendidikan pada anak usia dini haru secara komprehensif berdasarkan aspek sosio-emosional, motorik, kognitif, bahasan, dan bahkan aspek spiritual yang harus ditumbuhkembangkan sejak dini.
Pengembangan model pembelajaran bagi pendidikan anak usia dini pada dasarnya merupakan salah satu aplikasi Teknologi Pendidikan. Berdasarkan pendapat beberapa pakar dikemukakan berbagai definisi pengembangan pembelajaran, diantaranya:
·         Clarence Schauer menyebutnya sebagai perencanaan secara akal sehat untuk mengidentifikasi masalah belajar dan mengusahakan pemecahan masalah tersebut dengan menggunakan suatu rencana terhadap pelaksanaan, evaluasi, uji coba, umpan balik, dan hasilnya.
·         Hamreus menyebutnya sebagai proses yang sistematis untuk meningkatkan kualitas kegiatan pembelajaran.
·         Buhl menyebutnya sebagai suatu set kegiatan yang bertujuan meningkatkan kondisi belajar bagi peserta didik.
·         Sedangkan Twelker, Urbach, dan Buck mendefinisikannya sebagai cara yang sistematis untuk mengidentifikasi, mengembangkan, dan mengevaluasi satu set bahan dan strategi belajar dengan maksud mencapai tujuan tertentu.
·         Selanjutnya Reigeluth mengartikannya sebagai tiga tahap kegiatan, yaitu: (1) desain yang berfungsi sebagai cetak biru, (2) produksi yang berarti penggunaan desain untuk membuat program pembelajaran, dan (3) validasi yang merupakan penentuan kualitas dan validitas dari produk akhir.
Sejalan dengan pendapat Reigeluth, AT&T (American Telepon & Telegraph) mengemukakan model pengembangan pembelajaran yang dikenal dengan istilah AT&T Instructional Development Model dengan tahapan kerja yang akan diaplikasikan pada pendidikan anak usia dini sebagai berikut:
Tahap Pertama: Analisis Kebutuhan
Pada tahap awal ini dilakukan identifikasi dan karakteristik awal anak yang akan dilayani berdasarkan tahap usia dan tugas perkembangan, analisis terhadap lingkungan dimana kegiatan akan dilaksanakan berdasarkan setting pendidikan formal, informal, dan nonformal. Selain itu juga diidentifikasi sumber daya manusia dan aneka sumber belajar yang tersedia.
Tahap Kedua: Analisis Pekerjaan/Keterampilan
   Pada tahap ini akan dianalisis jenis kemampuan atau keterampilan apa saja yang akan diberikan sepanjang kegiatan pembelajaran berlangsung. Hal ini didasarkan pada sejumlah potensi bawaan anak yang akan dikembangkan, yang berhubungan dengan perkembangan sosio-emosional, kognitif, bahasa, motorik, dan spiritual. Semua jenis kemampuan atau keterampilan diarahkan pada keterampilan hidup untuk menolong diri sendiri (life skill) dan kegiatan dasar belajar tentang bagaimana seharusnya belajar (learning to learn).

Tahap Ketiga: Menulis Tujuan
Menuangkan hasil analisis pada tahap kedua ke dalam suatu rencana kegiatan (lesson plan) secara sistemik dan sistematis sehingga mudah untuk diaplikasikan. Menuliskan tujuan didasarkan atas kompetensi yang bersifat umum sampai kepada hal-hal yang bersifat khusus yang merupakan indikator hasil belajar atau perkembangan.
Tahap Keempat: Desain Pembelajaran
Kegiatan pada tahap ini berupa penentuan strategi atau pola kegiatan yang akan dilaksanakan, misalnya model pembelajaran sentra dengan pengelolaan kelas bersifat moving class. Metode yang akan digunakan, misalnya praktek langsung, bercerita, atau bercakap-cakap. Materi atau program stimulasi yang akan diberikan disesuaikan dengan urutan kegiatan pembelajaran atau stimulasi. Teknik yang digunakan sebaiknya dari yang bersifat exploratory sampai yang bersifat discovery (penemuan).
Tahap Kelima: Pengembangan Bahan
   Berupa penentuan dan pemilihan berbagai bahan dan sumber belajar di setiap sentra belajar yang akan dikembangkan, yang perlu diperhatikan adalah minat, kebutuhan serta jumlah anak dan ketersediaan media yang dibutuhkan. Pertimbangan akan menggunakan bahan yang sudah tersedia (media by utility) atau akan merancang media khusus (media by design).
Tahap Keenam: Pelaksanaan
Pada tahap ini yang perlu diperhatikan adalah bagaimana cara yang paling efektif dan efisien untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Proses pembelajaran harus berlangsung dengan menggunakan pendekatan yang berpusat pada anak (child centered) serta mengikuti laju dan kecepatan belajar pada masing-masing anak. Perlu adanya motivasi ekstrinsik berupa pemberian penguatan (reinforcement) dan juga penghargaan (reward). Semua kegiatan harus didasarkan pada konsep belajar sambil bermain dan memberikan kebebasan agar anak dapat mengkonstruksi pengetahuannya sendiri.
Tahap Ketujuh: Evaluasi
Kegiatan evaluasi harus berorientasi pada tujuan yang akan dicapai, bersifat individual dan menggunakan serangkaian (battery test) alat atau prosedur yang tepat, seperti penilaian hasil belajar melalui portofolio. Terdapat dua aspek penialaian pada anak usia dini, yaitu penilaian berdasarkan aspek perkembangan dan belajar.



BAB III
PENUTUP

I.              KESIMPULAN
Aplikasi Teknologi Pendidikan pada anak usia dini dimaksudkan agar layanan pendidikan yang diberikan sesuai dengan karakterisktik perkembangan dan kebutuhan anak di setiap tahap usia. Tujuan utamanya adalah pengembangan potensi secara optimal melalui pemberian berbagai kegiatan permainan dan stimulus oleh lingkungan. Diyakini bahwa orangtua dan orang-orang terdekat dalam kehidupan anak akan memberikan pengaruh yang sangat besar terhadap pertumbuhan dan perkembangan anak.
Sesuai dengan potensi kecerdasan yang ada pada anak, maka proses pembelajaran pada anak usia dini hendaknya dapat mengembangkan seluruh aspek kecerdasan melalui pemberian stimulasi yang tepat. Paling tidak anak memiliki 3 aspek multikecerdasan, yaitu intelektual (IQ), sosio-emosional (EQ), dan spiritual (SQ) yang sangat berguna bagi kehidupannya kini dan akan datang.
Untuk memunculkan berbagai multikecerdasan tersebut, maka salah satu alternatif model pembelajaran yang sesuai untuk anak usia dini adalah dengan menggunakan model pembelajaran sentra. Pada model ini anak dilayani secara individual, adanya kebebasan untuk memilih sentra sesuai dengan keberminatan anak sehingga anak memiliki kesempatan untuk mengeksplorasi dunianya yang berarti juga belajar menemukan sesuatu secara mandiri.


http://akhmadsudrajat.files.wordpress.com/2008/03/posisi-bimbingan-dan-konseling-dan-kurikulum-ktsp.jpg?w=374&h=215

Followers

 
;