BAB I
PENDAHULUAN
I.
LATAR BELAKANG
Intervensi perlakuan terhadap anak usia dini menjadi kajian
utama dalam bidang pendidikan pada masa warsa terakhir ini. Hal ini sangat
berkaitan dengan hasil konferensi UNESCO di Dakkar yang bertemakan “Pendidikan
Untuk Semua, Semua Untuk Pendidikan” yang telah mencanangkan pentingnya
memberikan layanan pada anak usia dini.
Pendidikan pada anak usia dini ini menjadi strategis manakala
ia menjadi tolak ukur keberhasilan pada
tahap selanjutnya. Betapa tidak, pada usia dini yaitu usia nol sampai delapan
tahun merupakan rentang usia kritis dan sekaligus strategis dalam proses
pendidikan yang akan mewarnai proses serta hasil pendidikan pada tahap
selanjutnya.
Pada rentang usia ini anak mengalami masa keemasan (the golden years), yang merupakan masa
dimana anak mulai peka atau sensitif untuk menerima berbagai rangsangan. Masa
peka adalah masa terjadinya kematangan fungsi fisik dan psikis yang siap
merespons stimulus yang diberikan oleh lingkungan. Masa peka masing-masing anak
berbeda.
“Anak adalah buah hati
orangtua”, kalimat kiasan ini memang bukan hanya sekedar hiasan belaka,
tetapi pada kenyataannya setiap orangtua akan berbuat apa saja demi kebahagiaan
anak-anaknya. Bahkan, terkadang mereka rela untuk melupakan kebutuhannya sendiri.
Untuk itu sangatlah bijak apabila kita sebagai orang dewasa
(orangtua, guru, atau orang dewasa lain) dapat berbuat dan memperlakukan anak
bukan sebagai “miniatur orang dewasa”
melainkan “makhluk kecil yang diyakini
memiliki potensi untuk berkembang”. Mengutip pendapat dari J. A. Comenius
seorang ahli ilmu jiwa yang menekuni masalah pendidikan, mengatakan bahwa anak
harus dipelajari bukan sebagai embrio orang dewasa melainkan dalam sosok alami
anak agar kita kita dapat memahami kemampuan mereka dan mengetahui bagaimana
cara berhubungan dengannya.
Masa kanak-kanak yang bahagia memang tidak 100% menjamin
keberhasilan di masa dewasa, tapi dapat menjadi peletak dasar bagi
keberhasilannya. Sedangkan ketidakbahagiaan pada masa kanak-kanak kemungkinan
dapat menjadi peletak dasar bagi ketidakberhasilannya di masa mendatang.
Mengingat bahwa anak usia dini merupakan makhluk unik yang
memiliki karakteristik dan kebutuhan yang berbeda, maka intervensi yang
diberikan oleh orang dewasapun harus berbeda pula sesuai dengan laju dan
kecepatan belajar anak seiring dengan masa pertumbuhan dan perkembangannya.
Untuk itu diperlukan suatu model pembelajaran yang mampu menumbuhkembangkan
seluruh potensi yang dimiliki oleh anak.
Berdasarkan hasil penelitian Howard Gardner, kecerdasan
manusia tidaklah tunggal seperti selama ini yang dipahami oleh banyak orang
yang begitu membanggakan kecerdasan intelektual (IQ). Gardner mengemukakan
tentang multi kecerdasan (multiple
intelligence) yang terkait dengan fungsi otak dan akan menentukan kualtias
kecerdasan seseorang. Optimalisasi kecerdasan dimungkinkan apabila sejak usia
dini anak telah mendapatkan stimulasi yang tepat untuk perkembangan otaknya.
Hal tersebut diatas semakin merebak dengan digelarnya hasil penelitian tentang
kecerdasan emosional (Emosional Intelligence)
yang diungkap oleh Daniel Golesman. Hasil penelitian Golesman telah mengubah
pandangan tentang konsep kecerdasan, dimana selain IQ juga ada kecerdasan lain
yang turut menentukan kesuksesan seseorang dimasa mendatang, diantaranya yaitu
EQ (Emosional Quotient), CQ (Creative Quotient), AQ (Adversity Quotient), dan belakangan
muncul pula yang disebut SQ (Spiritual Quotient).
Berdasarkan hasil penelitian tentang multikecerdasan
tersebut, Thomas Amstrong telah mencoba menerapkan multikecerdasan tersebut
dalam setting kelas. Anggapan bahwa setiap anak memliki sejumlah kecerdasan
yang berbeda, maka Amstrong menggunakan berbagai aspek kecerdasan. Hal ini
didasarkan pada paradigma baru yang menganggap bahwa tidak ada anak yang bodoh,
setiap guru harus berpandangan bahwa setiap anak sebagai manusia yang memiliki
potensi untuk berprestasi asalkan ia mendapat stimulasi sesuai dengan
kecenderungan potensi kecerdasan yang dimilikinya.
Untuk mewujudkan model pembelajaran yang sesuai, maka
dibutuhkan sejumlah pengetahuan yang berhubungan dengan teknologi pendidikan.
Diharapkan dengan melakukan kajian berdasarkan epistemologi keilmuan teknologi
pendidikan, maka akan didapat nilai tambah yang akan sangat bermanfaat bagi
pelayanan pendidikan anak usia dini.
II.
PERMASALAHAN
Berdasarkan latar belakang tersebut,
maka permasalahan yang diangkat dalam tulisan ini adalah: Bagaimanakah aplikasi
teknologi pendidikan dalam mengembangkan KBK melalui penerapan model
pembelajaran sentra untuk mengembangkan multikecerdasan?
BAB II
ISI
I.
HAKIKAT PENDIDIKAN ANAK USIA
DINI
A.
Definisi Pendidikan Anak Usia
Dini
Pendidikan adalah usaha yang
dijalankan dengan sengaja, teratur, dan terencana dengan maksud mengubah
tingkah manusia kearah yang diinginkan.
National Association in Education for
Young Children (NAEYC) (1999), memberi batasan anak usia dini adalah mereka
yang berada rentang usia lahir sampai delapan tahun. Hal tersebut sejalan
dengan hasil konferensi UNESCO di Dakkar. Berdasarkan hasil Rancangan
Undang-Undang Sisdiknas tahun 2003 pasal 29 dituliskan bahwa Pendidikan Anak
Usia Dini dapat diselenggarakan melalui jalur pendidikan formal, nonformal, dan
atau informal. Pendidikan formal berbentuk taman kanak-kanak (TK), raudhatul
athfal (RA). Dalam pendidikan nonformal berbentuk kelompok bermain (KB), taman
penitipan anak (TPA). Sedangkan dalam pendidikan informal berbentuk pendidikan
keluarga atau pendidikan yang diselenggarakan oleh lingkungan.
Sementara Sujiono menjelaskan lebih
lanjut bahwa anak usia dini adalah sekelompok anak yang berusia antara 0-8
tahun yang memiliki berbagai potensi genetik dan siap untuk ditumbuhkembangkan
melalui pemberian berbagai rangsangan.
Sebagai kesimpulan dapat dijelaskan
bahwa Pendidikan Anak Usia Dini adalah suatu kegiatan yang dilakukan secara
sadar dan bertanggungjawab untuk menciptakan suatu interaksi edukatif pada anak
usia dini yang berusia 0-8 tahun serta memberikan kemungkinan berkembangnya berbagai potensi
kearah yang lebih optimal. Interaksi edukatif yang diciptakan dan dirancang
dengan menggunakan program yang terencana, sistematis, dan berkelanjutan untuk
membantu tumbuh kembang potensi anak secara optimal. Melalui berbagai interaksi
edukatif tersebut diharapkan segala potensi tersembunyi yang dimiliki anak akan
teraktualisasi dan menunjukkan perkembangan atau perubahan ke arah yang lebih
maju.
B.
Pentingnya Pendidikan Anak
Usia Dini
Hurlock mengatakan bahwa semua anak
yang baru lahir adalah tidak berdaya sehingga membutuhkan bantuan orang dewasa
untuk tumbuh dan berkembangan, termasuk belajar. Ketidakberdayaan ini dicirikan
dengan belum berkembangnya kedaan tubuh dan sistem saraf, ketidakmampuan
mengendalikan keadaan motorik, ketidakmampuan untuk berkomunikasi dan
ketidakmampuan untuk belajar. Selanjutnya ia mengatakan bahwa pentingnya
pendidikan bagi anak usia dini adalah menciptakan interaksi edukatif yang
diarahkan bagi perkembangan optimal seluruh potensi yang dimiliki anak.
Janet Doman dalam Dryden dan Vos
mengatakan: “A baby is born into world in
which, essentially he is blind, can’t hear very well and his sensation is far
form perfect. And that’s very uncomfortable place for a baby to be. He is
trying to figure out: where I am?, what’s going on?, what’s gonna happen
next?......... because he can’t see, he can’t hear and he can’t feel very well.
So I think the job of parent is clear: to give enough visual, auditory and
tactile stimulation so that the baby get out of this dilemma of not being able
to see, hear, and feel”.
Langeveld dalam Napitupulu mengatakan
bahwa manusia adalah “animal educandum”
atau hewan yang dapat dididik, jadi jika manusia (anak) itu tidak dididik, maka
ia akan tetap sama dengan monyet atau hewan lainnya. Artinya, tiada perubahan
tingkah laku dan ia akan mendasarkan segala tindak-tanduknya melulu atas dasar
naluri (instinct).
Berdasarkan ketiga pendapat tersebut,
jelaslah bahwa pentingnya pendidikan bagi anak usia dini adalah agar anak dapat
mengembangkan seluruh potensi yang dimilikinya melalui berbagai rangsangan dari
orang dewasa dan atau lingkungan sekitar. Hal itu berarti pendidikan bagi anak
usia dini mutlak diberikan agar mereka dapat mencapai taraf kemanusiaannya.
Selain itu, pentingnya pemberian
layanan pendidikan bagi anak usia dini memiliki beberapa fungsi sebagai
berikut:
ª Fungsi adaptasi dan
sosialisasi, yakni berperan dalam membantu anak melakukan penyesuaian diri
dengan lingkungan dan dengan keadaan dalam dirinya sendiri. Serta membantu anak
agar memiliki keterampilan-keterampilan sosial yang berguna dalam pergaulannya
di masyarakat.
ª Fungsi pengembangan, yakni
berkaitan dengan peranan pendidikan anak usia dini dalam mengembangkan berbagai
potensi yang dimiliki oleh anak.
ª Fungsi bermain, yakni peranan
pendidikan anak usia dini dalam memberikan kesempatan pada anak untuk bermain.
Karena, dengan bermain anak akan senang mengembangkan berbagai potensi yang
dimiliki.
ª Fungsi eknonomik, yakni bahwa
pendidikan yang terencana pada anak usia dini merupakan investasi jangka
panjang yang dapat menguntungkan pada setiap rentang perkembangan selanjutnya.
Berdasarkan data BPS tahun 1999,
diperkirakan jumlah anak balita yang berusia 0-5 tahun di Indonesia adalah
berkisar 24.000.000 jiwa yang tersebar di seluruh Indonesia. Bila konsisten
dengan konsep anak usia dini adalah anak yang berusia antara 0-8 tahun
jumlahnya meningkat menjadi lebih kurang 42.500.000 jiwa (21% dari jumlah
populasi Indonesia).
Program PAUD di Indonesia hanya akan
berhasil bila intervensi kesehatan, perbaikan gizi, dan pendidikan diberikan
secara sinergis. Kesemuanya akan memberi dampak positif bagi perkembangan
fisik, kognitif, bahasa, sosio-emosional, dan mental spiritual yang dengan
secara bersama-sama akan menghasilkan pertumbuhan dan perkembangan yang utuh,
menyeluruh, dan berkelanjutan. Untuk itu, penyelenggaraan program PAUD di
Indonesia harus menganut pendekatan menyeluruh, integratif, dan sistematik.
II.
KURIKULUM BERBASIS KOMPETENSI
ANAK USIA DINI
A.
Pengertian
Kompetensi merupakan pengetahuan,
keterampilan, dan nilai-nilai dasar yang direfleksikan dalam kebiasaan berpikir
dan bertindak.
Kebiasaan berpikir dan bertindak
secara konsisten dan terus-menerus memungkinkan seseorang menjadi kompeten,
dalam arti memiliki pengetahuan keterampilan dan nilai-nilai dasar untuk
melakukan sesuatu.
Dasar pemikiran untuk menggunakan
konsep kompetensi dalam kurikulum adalah sebagai berikut:
1. Kompetensi berkenaan dengan
kemampuan anak melakukan sesuatu dalam berbagai konteks.
2. Kompetensi menjelaskan
pengalaman belajar yang dilalui anak untuk menjadi kompeten.
3. Kompeten merupakan hasil
belajar yang menjelaskan hal-hal yang dilakukan anak setelah melalui proses
pembelajaran.
4. Keandalan kemampuan anak
melakukan sesuatu harus didefinisikan secara jelas dan luas dalam suatu standar
yang dapat dicapai melalui kinerja yang dapat diukur.
Kurikulum Berbasis Kompetensi
merupakan seperangkat rencana dan pengaturan tentang kompetensi dan hasil
belajar yang harus dicapai anak, penilaian, kegiatan pembelajaran, dan
pemberdayaan sumber daya pendidikan dalam pengembangan kurikulum lembaga
pendidikan.
Kurikulum Berbasis Kompetensi
berorientasi pada:
1. Hasil dan dampak yang
diharapkan muncul pada diri anak melalui serangkaian pengalaman belajar yang
bermakna, dan
2. Keberagaman yang dapat dimanifestasikan
sesuai dengan kebutuhannya.
Kurikulum Berbasis Kompetensi
memiliki ciri-ciri sebagai berikut:
§ Menekankan pada ketercapaian
kompetensi anak, baik secara individual maupun klasikal.
§ Berorientasi pada hasil
belajar dan keberagaman.
§ Penyampaian dalam
pembelajaran menggunakan pendekatan dan metode yang bervariasi.
§ Sumber belajar bukan hanya
guru.
§ Penilaian menekankan pada
proses dan hasil belajar dalam upaya penguasaan atau pencapaian suatu
kompetensi.
B.
Prinsip Dalam Pengembangan
Kurikulum
Adapun prinsip-prinsip dalam
pengembangan kurikulum berikut ini:
1. Keimanan, nilai, dan budi
pekerti luhur
Keyakinan dan nilai-nilai yang dianut masyarakat berpengaruh pada sikap
dan arti kehidupannya. Keimanan, nilai-nilai, dan budi pekerti luhur perlu
digali, dipahami, dan diamalkan oleh anak-anak.
2. Penguatan integritas nasional
Penguatan integritas nasional dicapai melalui pendidikan yang memberikan
pemahaman tentang masyarakat Indonesia yang majemuk dan kemajuan peradaban
bangsa Indonesia dalam tatanan peradaban dunia yang multikultur dan
multibahasa.
3. Keseimbangan etika, logika,
estetika, dan kinestetika
Keseimbangan pengalaman belajar anak yang meliputi etika, logika,
estetika, dan kinestetika sangat dipertimbangkan dalam penyusunan kurikulum dan
hasil belajar.
C.
Komponen Kurikulum Berbasis
Kompetensi
Kurikulum Berbasis Kompetensi
merupakan kerangka inti yang memiliki empat komponen, yaitu Kurikulum dan Hasil
Belajar, Penilaian Berbasis Kelas, Kegiatan Belajar Mengajar, dan Pengelolaan
Kurikulum Berbasis Sekolah.
1.
Kurikulum dan Hasil Belajar, yakni memuat perencanaan
pengembangan kompetensi anak yang perlu dicapai secara keseluruhan sejak lahir
sampai usia 18 tahun. Kurikulum dan hasil belajar ini memuat kompetensi, hasil
belajar, dan indikator dari TK dan RA sampai dengan kelas XII.
2.
Penilaian Berbasis Kelas, yakni memuat prinsip, sasaran, dan pelaksanaan
penilaian berkelanjutan yang lebih akurat sebagai akuntabilitas publik melalui
identifikasi kompetensi atau hasil belajar yang telah dicapai, pernyataan yang
jelas tentang standar yang harus dan telah dicapai serta peta kemajuan belajar
anak dan pelaporan.
3.
Kegiatan Belajar Mengajar, yakni memuat gagasan-gagasan pokok
tentang pembelajaran untuk mencapai kompetensi yang ditetapkan serta
gagasan-gagasan paedagogis dan androgogis untuk mengelola proses pembelajaran
agar tidak mekanistik.
4.
Pengelolaan Kurikulum Berbasis Sekolah, yakni memuat berbagai
pola pemberdayaan tenaga kependidikan dan sumber daya lain untuk meningkatkan
mutu hasil belajar. Pola ini dilengkapi pula dengan gagasan pembentukan
jaringan kurikulum, silabus, pembinaan profesional tenaga kependidikan, dan
pengembangan sistem informasi kurikulum.
D.
Struktur Kurikulum
Adapun struktur Kurikulum Berbasis
Kompetensi untuk anak usia dini termasuk di dalamnya Taman Kanak-Kanak dapat
dideskripsikan sebagai berikut (Depdiknas, 2002):
NO
|
PROGRAM
KEGIATAN BELAJAR
|
ALOKASI
WAKTU
|
1.
|
Pengembangan
Moral dan Agama
|
|
2.
|
Pengembangan
Sosial dan Emosional
|
|
3.
|
Pengembangan
Kemampuan Dasar
|
|
|
Alokasi
Waktu per Minggu
|
15
jam (900 menit)
|
Ketentuan untuk TK dan RA:
1.
Minggu efektif dalam satu tahun pelajaran (2 semester) adalah
34 minggu dan jam belajar efektif per hari adalah 2,5 jam (150 menit).
2.
Pengelolaan kegiatan belajar ketiga jenis bidang pengembangan
diserahkan sepenuhnya kepada penyelenggara TK dan RA.
3.
Program kegiatan belajar dalam rangka pengembangan kemampuan
dasar meliputi antara lain pengembangan kognitif, bahasa, fisik, dan
pra-akademik.
III.
TEORI MULTIKECERDASAN
Pada tahun
1983, Howard Gardner mengemukakan teori yang disebut sebagai multiple
intelligences dalam bukunya Frames of Mind. Teori ini mengatakan, ada banyak
cara belajar. Umumnya anak-anak dapat menggunakan intelegensinya yang berbeda
untuk mempelajari sebuah konsep atau keterampilan. Sebagai contoh, dalam
belajar tentang tumbuhan, seorang anak akan menempelkan daun-daunan ke
tangannya, menempelkan kertas cokelat ke kakinya sebagai batang pohon, lalu
bergerak layaknya pohon. Di sudut lain, seorang anak lain belajar dengan
mengamati buku yang gambarnya dapat dimainkan. Anak tersebut melihat dan meraba
setiap tumbuhan yang ada dalam buku. Kedua anak tersebut dapat menyerap
informasi tentang tumbuhan, tapi dengan cara yang berbeda. Anak pertama lebih
mudah mendapat informasi dengan terlibat secara fisik dalam proses
pembelajarannya. Sedangkan anak kedua untuk memahaminya perlu meraba dan
merasakannya.
Selanjutnya,
Gardner menyatakan bahwa kecerdasan merupakan kemampuan untuk menyelesaikan
masalah, menciptakan produk yang berharga dalam satu atau beberapa lingkungan
budaya masyarakat. Secara lebih terperinci Gardner menyatakan bahwa kecerdasan
merupakan:
6 Kemampuan untuk menciptakan
suatu produk yang efektif atau menyumbangkan pelayanan yang bernilai dalam
suatu budaya.
6 Sebuah perangkat keterampilan
menemukan atau menciptakan bagi seseorang dalam memecahkan permasalahan dalam
hidupnya.
6 Potensi untuk menemukan jalan
keluar dari masalah-masalah yang melibatkan penggunaan pemahaman baru.
Saat ini teori multikecerdasan sering
digunakan oleh para pendidik, orangtua maupun guru. Sebenarnya dalam beberapa
hal orangtua dan guru mengetahui secara naluriah bahwa anak-anak belajar dengan
cara dan gaya yang berbeda. Hal ini dapat diketahui dari ketertarikan satu anak
dengan lainnya terhadap suatu aktivitas. Ada anak yang menunjukkan
keantusiasaan yang tinggi, tetapi ada pula yang terlihat seperti tidak memiliki
gairah untuk melakukannya.
Tujuan penting dalam mengetahui
berbagai aspek yang terdapat dalam multikecerdasan adalah diharapkan para
pendidik dapat memperlakukan anak sesuai cara dan gaya belajarnya
masing-masing. Sebagai pendidik yang berpengalaman sering kali ditemui berbagai
kekecewaan dalam menghadapi berbagai macam anak, sehingga muncul rasa frustasi
dalam menghadapi mereka. Dengan lebih memahami kecerdasan individual
masing-masing anak dan gaya belajar mereka akan membantu para pendidik dalam
menghadapi anak terutama dalam mengajari anak-anak dengan cara yang paling
sesuai dengannya.
Sesuai dengan teori multikecerdasan,
diyakini bahwa setiap anak memiliki berbagai aspek kecerdasan yang akan dapat
saling berinteraksi satu dengan lainnya dalam diri seseorang tapi memiliki
kadar atau tingkat yang berbeda antara satu anak dengan anak lainnya. Menurut
teori ini, setidaknya anak memiliki delapan kecerdasan, yaitu kecerdasan
linguistik, kecerdasan spasial, kecerdasan musikal, kecerdasan logis-matematis,
kecerdasan kintestetik, kecerdasan naturalis, kecerdasan antarpribadi,
kecerdasan intra pribadi. Belakangan bahkan ditambahkan kecerdasan spiritual.
Seluruh aspek ini sebenarnya dapat dikembangkan secara bersama-sama, tetapi
hasil belajar yang didapat tentunya akan berbeda pada setiap anak sesuai dengan
potensi yang dominan pada diri mereka. Tugas guru dan orangtua inilah yang
harus dapat mendeteksi aspek-aspek mana saja yang dominan pada diri anak.
IV.
MODEL PEMBELAJARAN SENTRA
Filosofi dari program
pembelajaran sentra berasal dari berbagai ahli psikologi perkembangan yang
telah mengamati pertumbuhan dan perkembangan anak selama bertahun-tahun.
Diantaranya adalah teori dan model pembelajaran dari Helen Parkhust dengan
sekolah Dalton, dimana tidak digunakannya program klasikal, tetapi menggunakan
sentra-sentra sebagai tempat untuk belajar. Sedangkan program pembelajaran yang
digunakan dalam model sentra ini mengadposi dan mengembangkan teori yang
dikemukakan oleh Jean Piaget, Lev Vygotsky, Anna Freud, dan Sarah Smilansky.
Para ahli psikologi tersebut percaya bahwa ada empat unsur atau konsep dasar
yang harus diperhatikan dalam menyelenggarakan pembelajaran untuk anak usia dini,
yaitu: teori pengetahuan (theory of
knowledge), teori perkembangan (theory
of development), teori belajar (theory
of learning), dan teori mengajar (theory
of teaching). Masing-masing akan dijelaskan sebagai berikut:
1.
Teori Pengetahuan (Theory of Knowledge)
Piaget mengatakan bahwa manusia dalam
hidupnya memiliki tiga jenis pengetahuan. Ketiga jenis pengetahuan ini disebut
teori pengetahuan (theory of knowledge)
yang lebih dikenal dalam pengaplikasiannya dengan pengetahuan diri (self knowledge), yaitu pengetahuan yang
harus dimiliki oleh setiap individu dalam menjalani hidupnya. Tiga pengetahuan
tersebut adalah:
a. Pengetahuan Fisik (Physical Knowledge)
Pengetahuan fisik, yaitu pengetahuan
yang berhubungan dengan bentuk-bentuk fisik, seperti: warna, bentuk, ukuran,
berbagai objek fisik dari lingkungan, dan berbagai perlakuan terhadap objek
fisik yang ada di lingkungannya.
b. Pengetahuan Logika Matematika
(Logica Mathematical Knowledge)
Pengetahuan logika dan matematika, yaitu pengetahuan yang
berhubungan dengan angka, berhitung, perbandingan, mengurutkan, pengelompokkan,
dan berbagai kegiatan yang berhubungan dengan logika matematika.
c. Pengetahuan Sosial (Social Knowledge)
Manusia adalah makhluk sosial sehingga manusia memerlukan
pengetahuan untuk berinteraksi dengan manusia lain, dan erat kaitannya dengan
kultur manusia itu sendiri.
2.
Teori Perkembangan (Theory
of Development)
Manusia memiliki pola
perkembangan dan karakteristik dari bayi hingga dewasa. Para ahli psikologi
berpendapat bahwa manusia dalam perkembangannya memiliki karakteristik
tertentu. Perkembangan manusia dalam hidupnya meliputi: perkembangan kognitif,
sosial, bahasa, psikomotrik, dan afektif. Anak usia 3-4 tahun perlu untuk
membangun keterampilan sosialnya agar dapat bermain dengan anak lainnya,
memecahkan bahasa untuk memecahkan masalah. Anak juga membutuhkan banyak
kesempatan untuk mencoba berbagai hal baru untuk dieksplorasi. Anak usia ini
juga senang berkata “Aku bisa”, ketika mereka diizinkan untuk mengembangkan
kemampuannya sesuai tahapan perkembangannya.
3. Teori Belajar (Theory of Learning)
Sesuai dengan program
pendidikan bagi anak usia dini, yaitu penerapan perkembangan yang tepat dengan
pendekatan bermain bahwa dari teori perkembangan diatas dapat dilihat bahwa
anak memperoleh pengetahuan yang dapat mengembangkan kemampuan dirinya melalui
kegiatan bermain sambil belajar (learning
by playing). Pada hakikatnya anak senang bermain. Melalui bermain anak
dapat menyesuaikan diri dengan lingkungannya dan dapat menjadi lebih dewasa.
Hal terpenting yang harus
diperhatikan dalam bermain adalah:
J Bermain harus muncul dari
dalam diri anak.
J Bermain harus bebas dari
aturan yang mengikat.
J Bermain adalah aktifitas
nyata atau sesungguhnya.
J Bermain harus difokuskan
pada proses daripada hasil.
J Bermain harus didominasi
oleh pemain.
J Bermain harus melibatkan
peran aktif dari pemain.
Peran orang dewasa dalam bermain
sangat penting, dimana orang dewasa memberikan makna pada permainan si anak,
agar dalam bermain anak dapat memperoleh pengetahuan. Bila anak dibiarkan main
sendiri, maka anak tidak akan mendapatkan makna apapun dari bermainnya
melainkan keputusasaan.
4. Teori Pembelajaran (Theory of Instruction)
Pembelajaran pada anak usia
dini selalu menggunakan pendekatan bermain anak. Program ini memberikan
kesempatan pada anak untuk bermain dan mengeksplorasi permainnya seluas-luasnya
sesuai dengan tahapan perkembangan yang dimiliki oleh individu masing-masing
anak. Pada model pembelajaran sentra seorang guru lebih sebagai pengkontruksi pemikiran
anak dan pengobserver pengembangan anak serta sebagai model bagi anak.
Program pendidikan dengan
pendekatan bermain ini diambil dari cara anak bermain. Ada tiga cara anak
bermain yang telah diamati oleh para psikolog antara lain Piaget, Vygotsky,
Erikson, Ann Freud dan Smilansky, sesuai dengan teori pengetahuan (theory of knowledge) yang nantinya
menjadi pengetahuan seseorang (self
knowledge). Tiga unsur bermain yang muncul pada diri anak, yaitu:
1. Permainan sensorimotor dan
fungsi
Contoh permainan: bermain sepeda, merobek, melukis, bermain
pasir, dan permainan yang menstimulasi perkembangan sensorik dan motoriknya.
2. Bermain peran atau simbolis
(maksro dan mikro)
Contoh permainan simbolis
makro antara lain bermain dokter-dokteran dengan menggunakan alat-alat
dokter yang seperti alat dokter sungguhan. Sedangkan permainan simblolis mikro
antara lain bermain boneka barbie.
3. Pembangunan (zat cair sampai
kerangka)
Jenis bermain yang ketiga adalah bermain pembangunan dari zat
cair hingga kerangka. Permainan zat cair antara lain bermain takar air, kocok
sabun, finger painting, play dough, pasir,
hingga bermain dengan balok (block
building).
Agar anak dapat berkembang sesuai
dengan perkembangannya, di bawah ini bagan jenis permainan yang dapat diberikan
pada anak sesuai dengan tahapan perkembangannya:
Usia
|
Persentase Bentuk Permainan dalam Waktu
|
|||||||||
10%
|
20%
|
30%
|
40%
|
50%
|
60%
|
70%
|
80%
|
90%
|
100%
|
|
0-2 tahun
|
Sensorimotor
|
|||||||||
1-2 tahun
|
Sensorimotor
|
Simbolik
|
||||||||
2-3 tahun
|
Sensorimotor
|
Simbolik
|
Kontruksi
|
|||||||
3-4 tahun
|
Sensorimotor
|
Simbolik
|
Kontruksi
|
Menurut bagan di atas, anak
pada usia tiga hingga empat tahun dapat diberikan permainan sensorimotor 40
persen, permainan simbolik 30 persen, dan permainan konstruksi sebanyak 30
persen. Oleh karena itu, anak usia tiga sampe empat tahun sesuai dengan perkembangan
kognitifnya yakni berada pada tahap pra-operasional anak, dimana harus mulai
menggunakan simbol-simbol, maka diberikan permainan yang sifatnya simbolik dan
kostruksi. Tetapi pada usia ini juga masih mengembangkan sensorimotornya
sehingga masih perlu diberikan permainan sensorimotor yang menunjang
perkembangan simboliknya.
Bagan ini juga berpengaruh pada sentra apa saja yang dapat
diberikan pada anak sesuai dengan tahapan usia dan perkembangannya. Pemilihan
sentra yang akan dikembangkan sangat disesuaikan berbagai multikecerdasan yang
akan dikembangkan, antara lain:
a. Sentra bahan alam
Memiliki tujuan untuk memberikan pengalaman pada anak untuk
bereksplorasi dengan berbagai materi dan mengenalkan konsep kering hingga
basah. Materi yang digunakan antara lain seperti air, play dough, pasir, biji-bijian, dan berbagai bahan alam lainnya
yang terdapat di sekitar anak dan ditemui oleh anak sehari-hari. Pada sentra
bahan alam evaluasi perkembangan anak difokuskan pada proses.
b. Sentra seni
Memiliki fokus untuk memberikan kesempatan pada anak untuk
mengembangkan berbagai keterampilannya, terutama keterampilan tangan dengan
menggunakan berbagai bahan dan alat, seperti: melipat, menggunting, mewarnai,
membuat prakarya, dan melukis. Tujuan sentra seni lebih ditekankan dalam
memberikan pengalaman untuk memproses, daripada membuat hasil. Artinya,
bagaimana anak mampu memanfaatkan bahan daripada hasil akhir yang diproduksi
anak.
c. Sentra bermain peran
sesungguhnya (macro play)
Sentra ini mendukung sepenuhnya pada perkembangan bahasa dan
interaksi sosial Bermain peran makro adalah bermain peran yang seakan-akan anak
bermain sesuai dengan yang sesungguhnya, misalnya menggunakan pakaian dokter
dan menggunakan perlengkapannya seperti dokter yang sebenarnya.
d. Sentra bermain peran (micro play)
Sentra bermain mikro sama dengan bermain peran makro, tetapi
pada mikro anak menggunakan miniatur dari kehidupan sosial manusia, misalnya
menggunakan rumah barbie untuk bermain.
e. Sentra balok
Sentra balok membantu perkembangan anak dalam keterampilan
berkontruksi. Sentra mengasah keterampilan anak mulai dari menumpuk balok
hingga mempresentasikan kehidupan nyata, yaitu dengan membuat jalan, rumah.
Sentra ini juga mengembangkan kemampuan anak untuk bekerja sendiri hingga
kelompok dalam membuat perencanaan pembangunan.
f. Sentra persiapan
Sentra ini memberikan kesempatan pada anak untuk
mengembangkan kemampuan matematika, pra-menulis, dan pra-membaca, dengan
kegiatan antara lain: mengurutkan, mengklasifikasikan, dan mengelompokkan
berbagai aktivitas lainnya yang mendukung perkembangan kognitif anak.
g. Sentra agama
Sentra agama dimana kegiatannya adalah mengembangkan
kemampuan beragama pada anak sejak dini dan membentuk pribadi yang cerdas
berperilaku sesuai dengan agama yang dianutnya.
V.
APLIKASI TEKNOLOGI PENDIDIKAN
DALAM PEMBELAJARAN SENTRA
Teknologi Pendidikan
merupakan disiplin ilmu terapan, artinya ia berkembang karena adanya kebutuhan
di lapangan, yaitu kebutuhan belajar. Penerapan TP dalam proses pembelajaran
dimaksudkan agar belajar menjadi lebih efektif, lebih efisien, lebih banyak,
lebih luas, lebih cepat, dan lebih bermakna bagi kehidupan orang yang belajar.
Untuk itu ada produk yang sengaja dibuat dan ada yang ditemukan dan
dimanfaatkan. Namun, perkembangan teknologi komunikasi dan informasi yang
sangat pesat akhir-akhir ini telah menawarkan sejumlah kemungkinan yang semula
tidak terbayangkan, telah membaik cara berpikir banyak orang dengan “bagaimana
mengambil manfaat teknologi tersebut untuk mengatasi masalah belajar?”
Pada pembahasan tersebut,
aplikasi teknologi pendidikan akan ditinjau dari pengertian teknologi
pendidikan (berlaku untuk semua teknologi) secara umum adalah proses yang dapat
meningkatkan nilai tambah, produk yang digunakan dan dihasilkan untuk
memudahkan dan meningkatkan kinerja, struktur atau sistem dimana proses dan
produk itu dikembangkan dan digunakan. Dengan perkataan lain, semua bentuk
teknologi adalah sistem yang diciptakan oleh manusia untuk suatu tujuan
tertentu, yang pada intinya adalah mempermudah manusia dalam memperingan
usahanya, meningkatkan hasilnya, dan menghemat tenaga serta sumber daya yang
ada.
Berhubungan dengan hal
tersebut diatas, jelas bahwa aplikasi teknologi pendidikan pada pendidikan anak
usia dini menggunakan pendekatan yang merupakan asas epistemologi TP sehingga
harus memenuhi persyaratan sebagai berikut:
QPendekatan isomorfi, PAUD
terdiri dari multidisiplin ilmu diantaranya: Psikologi, Komunikasi, Pendidikan,
Sosiologi, Antropologi, Kesehatan dan Keperawatan, Gizi, dan Fisiologi.
QPendekatan sistematik, PAUD
memiliki urutan kerja yang teratur dan terarah dalam rangka mengatasi
permasalahan belajar dalam tumbuh kembang pada anak usia dini, yaitu
berdasarkan tahapan usia kronologis dan kematangan perkembangan (usia bayi,
anak balita, anak pra-sekolah, dan anak sekolah dasar).
QPendekatan sinergistik, PAUD
menggabungkan berbagai cara dalam menstimulasi tumbuh kembang anak usia dini
yang disesuaikan dengan karakteristik dan kebutuhan masing-masing anak, karena
pada dasarnya setiap anak berbeda sehingga dengan laju dan kecepatan yang
belajar yang berbeda seharusnya anak mendapat layanan pendidikan yang berbeda
pula.
QPendekatan sistemik, berupa
pengkajian secara menyeluruh karena dalam mengkaji layanan pendidikan pada anak
usia dini haru secara komprehensif berdasarkan aspek sosio-emosional, motorik,
kognitif, bahasan, dan bahkan aspek spiritual yang harus ditumbuhkembangkan
sejak dini.
Pengembangan model
pembelajaran bagi pendidikan anak usia dini pada dasarnya merupakan salah satu
aplikasi Teknologi Pendidikan. Berdasarkan pendapat beberapa pakar dikemukakan
berbagai definisi pengembangan pembelajaran, diantaranya:
·
Clarence Schauer menyebutnya sebagai perencanaan secara akal
sehat untuk mengidentifikasi masalah belajar dan mengusahakan pemecahan masalah
tersebut dengan menggunakan suatu rencana terhadap pelaksanaan, evaluasi, uji
coba, umpan balik, dan hasilnya.
·
Hamreus menyebutnya sebagai proses yang sistematis untuk
meningkatkan kualitas kegiatan pembelajaran.
·
Buhl menyebutnya sebagai suatu set kegiatan yang bertujuan
meningkatkan kondisi belajar bagi peserta didik.
·
Sedangkan Twelker, Urbach, dan Buck mendefinisikannya sebagai
cara yang sistematis untuk mengidentifikasi, mengembangkan, dan mengevaluasi
satu set bahan dan strategi belajar dengan maksud mencapai tujuan tertentu.
·
Selanjutnya Reigeluth mengartikannya sebagai tiga tahap
kegiatan, yaitu: (1) desain yang berfungsi sebagai cetak biru, (2) produksi
yang berarti penggunaan desain untuk membuat program pembelajaran, dan (3)
validasi yang merupakan penentuan kualitas dan validitas dari produk akhir.
Sejalan dengan pendapat
Reigeluth, AT&T (American Telepon &
Telegraph) mengemukakan model pengembangan pembelajaran yang dikenal dengan
istilah AT&T Instructional Development
Model dengan tahapan kerja yang akan diaplikasikan pada pendidikan anak
usia dini sebagai berikut:
Tahap Pertama: Analisis Kebutuhan
Pada tahap awal ini dilakukan identifikasi dan karakteristik
awal anak yang akan dilayani berdasarkan tahap usia dan tugas perkembangan,
analisis terhadap lingkungan dimana kegiatan akan dilaksanakan berdasarkan setting pendidikan formal, informal, dan
nonformal. Selain itu juga diidentifikasi sumber daya manusia dan aneka sumber
belajar yang tersedia.
Tahap Kedua: Analisis Pekerjaan/Keterampilan
Pada tahap ini akan dianalisis jenis kemampuan atau keterampilan
apa saja yang akan diberikan sepanjang kegiatan pembelajaran berlangsung. Hal
ini didasarkan pada sejumlah potensi bawaan anak yang akan dikembangkan, yang
berhubungan dengan perkembangan sosio-emosional, kognitif, bahasa, motorik, dan
spiritual. Semua jenis kemampuan atau keterampilan diarahkan pada keterampilan
hidup untuk menolong diri sendiri (life
skill) dan kegiatan dasar belajar tentang bagaimana seharusnya belajar (learning to learn).
Tahap Ketiga: Menulis Tujuan
Menuangkan hasil analisis
pada tahap kedua ke dalam suatu rencana kegiatan (lesson plan) secara
sistemik dan sistematis sehingga mudah untuk diaplikasikan. Menuliskan tujuan
didasarkan atas kompetensi yang bersifat umum sampai kepada hal-hal yang
bersifat khusus yang merupakan indikator hasil belajar atau perkembangan.
Tahap Keempat: Desain Pembelajaran
Kegiatan pada tahap ini
berupa penentuan strategi atau pola kegiatan yang akan dilaksanakan, misalnya
model pembelajaran sentra dengan pengelolaan kelas bersifat moving class. Metode yang akan
digunakan, misalnya praktek langsung, bercerita, atau bercakap-cakap. Materi
atau program stimulasi yang akan diberikan disesuaikan dengan urutan kegiatan
pembelajaran atau stimulasi. Teknik yang digunakan sebaiknya dari yang bersifat
exploratory sampai yang bersifat discovery (penemuan).
Tahap Kelima: Pengembangan Bahan
Berupa penentuan dan
pemilihan berbagai bahan dan sumber belajar di setiap sentra belajar yang akan
dikembangkan, yang perlu diperhatikan adalah minat, kebutuhan serta jumlah anak
dan ketersediaan media yang dibutuhkan. Pertimbangan akan menggunakan bahan
yang sudah tersedia (media by utility)
atau akan merancang media khusus (media
by design).
Tahap Keenam: Pelaksanaan
Pada tahap ini yang perlu
diperhatikan adalah bagaimana cara yang paling efektif dan efisien untuk
mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Proses pembelajaran harus berlangsung
dengan menggunakan pendekatan yang berpusat pada anak (child centered) serta mengikuti laju dan kecepatan belajar pada
masing-masing anak. Perlu adanya motivasi ekstrinsik berupa pemberian penguatan
(reinforcement) dan juga penghargaan
(reward). Semua kegiatan harus
didasarkan pada konsep belajar sambil bermain dan memberikan kebebasan agar
anak dapat mengkonstruksi pengetahuannya sendiri.
Tahap Ketujuh: Evaluasi
Kegiatan evaluasi harus
berorientasi pada tujuan yang akan dicapai, bersifat individual dan menggunakan
serangkaian (battery test) alat atau
prosedur yang tepat, seperti penilaian hasil belajar melalui portofolio.
Terdapat dua aspek penialaian pada anak usia dini, yaitu penilaian berdasarkan
aspek perkembangan dan belajar.
BAB III
PENUTUP
I.
KESIMPULAN
Aplikasi Teknologi Pendidikan pada
anak usia dini dimaksudkan agar layanan pendidikan yang diberikan sesuai dengan
karakterisktik perkembangan dan kebutuhan anak di setiap tahap usia. Tujuan
utamanya adalah pengembangan potensi secara optimal melalui pemberian berbagai
kegiatan permainan dan stimulus oleh lingkungan. Diyakini bahwa orangtua dan
orang-orang terdekat dalam kehidupan anak akan memberikan pengaruh yang sangat
besar terhadap pertumbuhan dan perkembangan anak.
Sesuai dengan potensi kecerdasan yang
ada pada anak, maka proses pembelajaran pada anak usia dini hendaknya dapat
mengembangkan seluruh aspek kecerdasan melalui pemberian stimulasi yang tepat.
Paling tidak anak memiliki 3 aspek multikecerdasan, yaitu intelektual (IQ),
sosio-emosional (EQ), dan spiritual (SQ) yang sangat berguna bagi kehidupannya
kini dan akan datang.
Untuk memunculkan berbagai
multikecerdasan tersebut, maka salah satu alternatif model pembelajaran yang
sesuai untuk anak usia dini adalah dengan menggunakan model pembelajaran
sentra. Pada model ini anak dilayani secara individual, adanya kebebasan untuk
memilih sentra sesuai dengan keberminatan anak sehingga anak memiliki
kesempatan untuk mengeksplorasi dunianya yang berarti juga belajar menemukan
sesuatu secara mandiri.
http://akhmadsudrajat.files.wordpress.com/2008/03/posisi-bimbingan-dan-konseling-dan-kurikulum-ktsp.jpg?w=374&h=215